Jumat, 03 Juli 2015

SUKARNO ILMU DAN PERJUANGAN: Kumpulan pidato ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dari universitas dalam negeri

Judul Buku      : Sukarno, Ilmu dan Perjuangan : Kumpulan pidato ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas dalam negeri. \
Penerbit          : Diterbitkan atas kerjasama Inti Idayu Press dan Yayasan Pendidikan Soekarno, Jakarta 1984.






Selain Bung Karno, kiranya tidak banyak tokoh dunia yang memperoleh Doctor Honoris Causa sampai berjumlah 26 buah, dari 26 Universitas dalam dan luar negeri. Menarik pula, karena gelar itu diberikan oleh berbagai universitas dari negara-negara dengan sistem politik yang berbeda-beda.
Dari seluruh gelar yang dianugerahkan itu, 16 di antaranya untuk bidang hukum, 3 untuk bidang kemasyarakatan, 3 untuk teknik, 3 untuk bidang agama Islam dan 1 untuk sejarah.
Pada setiap kali penerimaan gelar Doctor H. C. Tersebut, Bung Karno senantiasa bertanya, apakah ia pantas dianugerahi dengan kehormatan sebesar itu. Juga beliau bertanya juga, apakah gelar itu diberikan dengan maksud sanjungan, sebagaimana yang beliau kemukakan tatkala menerima gelar Doctor H. C. Dari Universitas Indonesia, “... Janganlah saya pada hari ini dihormati oleh Universitas Indonesia dengan diberi gelar Doctor Honoris Causa sebagai penambahan aureool (teja)”.
Bung Karno cukup sadar, bahwa ada negara yang memberikan gelar Doctor H. C. tersebut disertai  maksud-maksud politik, akan tetapi dari perguruan tinggi yang ada di Indonesia, Bung Karno tidak menginginkan hal seperti itu terjadi.
Apapun latar belakangnya, namun universitas-universitas yang memberikan gelar Doctor H. C. tersebut, baik dalam negeri maupun luar negeri, tidak diragukan mutu Universitasnya. Oleh karena itu, tentulah pemberian gelar Doctor H. C. tersebut dilandasi dengan alasan-alasan yang ilmiah yang objektif, agar penganugerahan tersebut tidak dianggap sebagai lelucon.
Pada kesempatan di depan Universitas Indonesia itu, Bung Karno  antara lain berkata, bahwa ilmu harus bermanfaat untuk mempermudah tercapainya tujuan, bahkan bagaimana agar dengan ilmu itu dapat membantu mengubah sejarah. Kemudian ditambahkan, bahwa melaksanakan ilmu itu harus penuh dedikasi dan dalam mengamalkannya agar senantiasa berani melakukan think  dan rethink.
Dengan demikian, Bung Karno menebarkan pikiran bercakrawala luas serta mengajak orang untuk tidak taklid dan dogmatis, melainkan terus menerus kritis, berpikir dan berpikir kembali. Dengan wawasan berpikir yang luas, selalu mencari dan tidak pernah jemu, Bung Karno menemukan sesuatu yang dapat disumbangkan untuk kesejahteraan masyarakat, rakyat, bangsa dan negara, serta tak ketinggalan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan itu sendiri, maka sesungguhnya Bung Karno telah berfikir  dan berhasil dengan pikirannya itu, sebagaimana halnya seorang ilmuan.
Seperti yang disampaikan Bung Karno di Universitas Gajah Mada ketika menerima gelar Doctor H. C., , bahwa beliau bersedia dianugerahi gelar kehormatan itu, kerena Universitas Gajah Mada telah menilai Bung Karno berjasa bagi hidup dan suburnya ilmu pengetahuan. Diakui oleh Bung Karno, bahwa beliau semenjak muda memang telah mengamalkan ilmu yang ada padanya, terutama untuk menyalakan kemauan merdeka rakyat Indonesia. Dalam suasana kemauan rakyat untuk merdeka sudah hidup, maka ilmu pengetahuan akan berkembang dan tumbuh subur.
Ketika menerima gelar Doctor H. C. dari Institut Teknologi Bandung, Bung Karno berkata tentang teknik, bahwa, “ yang dimaksud dengan teknik ialah pembuatan alat untuk membuat hidup manusia ini lebih nyaman”, dan selanjutnya dijelaskan, bahwa bagi Republik Indonesia, teknik itu adalah alat untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Sebab Bung Karno melihat, “ ... ada negara yang hebat sekarang ini, menggunakan teknik itu bukan untuk masyarakat yang adil dan makmur”.
Bahwa ketidakadilan melahirkan perlawanan terhadapnya, diungkapkan Bung Karno di Universitas Hasanuddin, dengan mengutip pendapat H. Spencer, mengatakan, “reactief verzet verdrukte elementen” (perlawanan dari elemen yang tertindas). Dalam pidato penerimaan gelar Doctor H. C. dari Universitas Hasanuddin ini, disinggung Bung Karno pula tentang dialektika Hegel, yang dikaitkan dengan lahirnya negara-negara merdeka di Asia dan Afrika, sebagai fenomena abad ke 20, merupakan perjalanan hidup tak terelakkan dari bangsa-bangsa kawasan itu, akibat ketidakadilan imperialisme yang melahirkan penantang dan pembunuhnya sendiri.
Bung Karno dinilai sebagai “historis visioner”, adalah alasan Universitas Pajajaran memberikan gelar Doctor H. C. pada beliau. Penilaian ini memang tepat, mengingat Bung Karno pada tahun 1929 telah melihat perjalanan bangsa jauh ke depan, yaitu, “bila nanti terjadi peperangan di Lautan Teduh, maka pada saat itulah Indonesia akan melepaskan diri dari belenggu penjajahan”. Selain itu Bung Karno juga melihat, bahwa resesi dan krisis ekonomi di negara negara kapitalis akan terjadi dan tidak dapat dielakkan. Melalui analisa perkembangan sejarah, Bung Karno menggambarkan, bahwa akibat sistem kapitalis yang mereka anut, maka negara-negara bersangkutan memproduksi barang-barang semaunya saja, sehingga sampai ke tingkat over produksi, lalu menimbulkan krisis. Krisis itu jangka waktunya semakin singkat. Krisis demi krisis yang beruntun, menyebabkan negara kapitalis itu semakin lemah, dan bergulir ke arah jurang kehancuran.  Kaum kapitalis berusaha menyelamatkan dirinya, yang oleh Bung Karno disebut sebagai “reddingpoging van het kapitalisme”. Cara untuk menyelamatkan diri itu ialah dengan fasisme. Jalan sejalarah kemudian membenarkan analisis Bung Karno.
“ Hidup adalah untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa”, demikian disampaikan Bung Karno di depan senat Guru Besar dan segenap Civitas Akademika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, ketika IAIN memberikan gelar Doctor H. C. kepada beliau. Ditekankan oleh Bung Karno, “ bukan saja manusia yang harus mengabdi kepada Tuhan, tapi juga negara harus bertuhan”. Pendapat ini merupakan landasan yang seutuhnya agar negara di tangan pemerintah senantiasa mengabdi kepada Tuhan melalui pelaksanaan kerjanya mewujudkna keadilan sosial.
Adalah amat berkesan pernyataan Bung Karno tatkala menerima gelar Doctor H. C. dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang berkata “ ... bukan dosa untuk mengatakan kebenaran”. Sebagai insan yang mengabdikan diri kepada Tuhan, Tanah Air, Bangsa dan Manusia, Bung Karno sudah sampai kepada tingkat haqul yaqin terhadap keesaan Tuhan yang oleh beliau dikatakan .” tauhid itu adalah hati dan bukan ilmu”. Oleh karena itu beliau mengecam orang-orang yang minta diampuni dosanya dengan cara datang ke keramat Luar Batang, yang oleh Bung Karno ditegaskan, perbuatan demikian adalah syirik.
Sebagai turunan Sunan Kalijaga, Bung Karno menasihatkan kerabat Sunan itu, agar jangan menganggap diri mereka Pinunjul, yaitu merasa diri lebih dari orang lain.
Dalam pidato itu, Bung Karno mengungkapkan keanggotaannya pada Muhammadiyah dari tahun 1932, yaitu ketika beliau dalam masa pembuangan di Bengkulu. Utang beliau sebesar 30 Gulden kepada Oei Tjeng Hien, selaku konsul Muhammadiyah Bengkulu, juga disinggung dalam pidato tersebut.
Mengingat uraian ilmiah tersebut masih relevan untuk dipelajari dewasa ini, maka Yayasan Pendidikan Soekarno bekerja sama dengan Inti Idayu Press untuk pertama ini menerbitkan 7 buah kumpulan pidato H. C. yang berasal dari dalam negeri, dengan harapan uraian ilmiah lainnya dalam pemberian gelar Doctor H. C. di luar negeri akan dapat diterbitkan di hari kemudian. Semoga para pembaca, terutama mahasiswa dan cendikiawan Indonesia dapat mengambil bandingan dan sari pati dari pikiran-pikiran yang dikemuakan oleh Bung Karnno tersebut.
KATA PENGANTAR
YAYASAN PENDIDIKAN SOEKARNO,


RACHMAWATI SOEKARNO
            KETUM 

Baca Juga

SUKARNO ILMU DAN PERJUANGAN: Kumpulan pidato ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dari universitas dalam negeri
4/ 5
Oleh
Tampilkan Komentar
Sembunyikan