Judul Buku : Sukarno, Ilmu dan Perjuangan : Kumpulan
pidato ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas dalam
negeri. \
Penerbit : Diterbitkan atas kerjasama Inti
Idayu Press dan Yayasan Pendidikan Soekarno, Jakarta 1984.
Selain
Bung Karno, kiranya tidak banyak tokoh dunia yang memperoleh Doctor Honoris Causa sampai berjumlah 26
buah, dari 26 Universitas dalam dan luar negeri. Menarik pula, karena gelar itu
diberikan oleh berbagai universitas dari negara-negara dengan sistem politik
yang berbeda-beda.
Dari
seluruh gelar yang dianugerahkan itu, 16 di antaranya untuk bidang hukum, 3
untuk bidang kemasyarakatan, 3 untuk teknik, 3 untuk bidang agama Islam dan 1
untuk sejarah.
Pada
setiap kali penerimaan gelar Doctor H. C.
Tersebut, Bung Karno senantiasa bertanya, apakah ia pantas dianugerahi
dengan kehormatan sebesar itu. Juga beliau bertanya juga, apakah gelar itu
diberikan dengan maksud sanjungan, sebagaimana yang beliau kemukakan tatkala
menerima gelar Doctor H. C. Dari Universitas
Indonesia, “... Janganlah saya pada hari ini dihormati oleh Universitas
Indonesia dengan diberi gelar Doctor Honoris Causa sebagai penambahan aureool
(teja)”.
Bung
Karno cukup sadar, bahwa ada negara yang memberikan gelar Doctor H. C. tersebut
disertai maksud-maksud politik, akan
tetapi dari perguruan tinggi yang ada di Indonesia, Bung Karno tidak menginginkan
hal seperti itu terjadi.
Apapun
latar belakangnya, namun universitas-universitas yang memberikan gelar Doctor H. C. tersebut, baik dalam negeri
maupun luar negeri, tidak diragukan mutu Universitasnya. Oleh karena itu,
tentulah pemberian gelar Doctor H. C. tersebut dilandasi dengan alasan-alasan
yang ilmiah yang objektif, agar penganugerahan tersebut tidak dianggap sebagai
lelucon.
Pada
kesempatan di depan Universitas Indonesia itu, Bung Karno antara lain berkata, bahwa ilmu harus
bermanfaat untuk mempermudah tercapainya tujuan, bahkan bagaimana agar dengan
ilmu itu dapat membantu mengubah sejarah. Kemudian ditambahkan, bahwa
melaksanakan ilmu itu harus penuh dedikasi dan dalam mengamalkannya agar
senantiasa berani melakukan think dan rethink.
Dengan
demikian, Bung Karno menebarkan pikiran bercakrawala luas serta mengajak orang
untuk tidak taklid dan dogmatis, melainkan terus menerus kritis, berpikir dan
berpikir kembali. Dengan wawasan berpikir yang luas, selalu mencari dan tidak
pernah jemu, Bung Karno menemukan sesuatu yang dapat disumbangkan untuk
kesejahteraan masyarakat, rakyat, bangsa dan negara, serta tak ketinggalan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan itu sendiri, maka sesungguhnya Bung Karno
telah berfikir dan berhasil dengan
pikirannya itu, sebagaimana halnya seorang ilmuan.
Seperti
yang disampaikan Bung Karno di Universitas Gajah Mada ketika menerima gelar Doctor H. C., , bahwa beliau bersedia
dianugerahi gelar kehormatan itu, kerena Universitas Gajah Mada telah menilai
Bung Karno berjasa bagi hidup dan suburnya ilmu pengetahuan. Diakui oleh Bung Karno,
bahwa beliau semenjak muda memang telah mengamalkan ilmu yang ada padanya,
terutama untuk menyalakan kemauan merdeka rakyat Indonesia. Dalam suasana
kemauan rakyat untuk merdeka sudah hidup, maka ilmu pengetahuan akan berkembang
dan tumbuh subur.
Ketika
menerima gelar Doctor H. C. dari
Institut Teknologi Bandung, Bung Karno berkata tentang teknik, bahwa, “ yang
dimaksud dengan teknik ialah pembuatan alat untuk membuat hidup manusia ini
lebih nyaman”, dan selanjutnya dijelaskan, bahwa bagi Republik Indonesia,
teknik itu adalah alat untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Sebab Bung
Karno melihat, “ ... ada negara yang hebat sekarang ini, menggunakan teknik itu
bukan untuk masyarakat yang adil dan makmur”.
Bahwa
ketidakadilan melahirkan perlawanan terhadapnya, diungkapkan Bung Karno di
Universitas Hasanuddin, dengan mengutip pendapat H. Spencer, mengatakan, “reactief verzet verdrukte elementen” (perlawanan
dari elemen yang tertindas). Dalam pidato penerimaan gelar Doctor H. C. dari Universitas Hasanuddin ini, disinggung Bung Karno
pula tentang dialektika Hegel, yang dikaitkan dengan lahirnya negara-negara
merdeka di Asia dan Afrika, sebagai fenomena abad ke 20, merupakan perjalanan
hidup tak terelakkan dari bangsa-bangsa kawasan itu, akibat ketidakadilan
imperialisme yang melahirkan penantang dan pembunuhnya sendiri.
Bung
Karno dinilai sebagai “historis visioner”,
adalah alasan Universitas Pajajaran memberikan gelar Doctor H. C. pada beliau. Penilaian ini memang tepat, mengingat Bung
Karno pada tahun 1929 telah melihat perjalanan bangsa jauh ke depan, yaitu, “bila
nanti terjadi peperangan di Lautan Teduh, maka pada saat itulah Indonesia akan
melepaskan diri dari belenggu penjajahan”. Selain itu Bung Karno juga melihat,
bahwa resesi dan krisis ekonomi di negara negara kapitalis akan terjadi dan
tidak dapat dielakkan. Melalui analisa perkembangan sejarah, Bung Karno
menggambarkan, bahwa akibat sistem kapitalis yang mereka anut, maka
negara-negara bersangkutan memproduksi barang-barang semaunya saja, sehingga
sampai ke tingkat over produksi, lalu menimbulkan krisis. Krisis itu jangka
waktunya semakin singkat. Krisis demi krisis yang beruntun, menyebabkan negara
kapitalis itu semakin lemah, dan bergulir ke arah jurang kehancuran. Kaum kapitalis berusaha menyelamatkan dirinya,
yang oleh Bung Karno disebut sebagai “reddingpoging
van het kapitalisme”. Cara untuk menyelamatkan diri itu ialah dengan
fasisme. Jalan sejalarah kemudian membenarkan analisis Bung Karno.
“
Hidup adalah untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa”, demikian disampaikan
Bung Karno di depan senat Guru Besar dan segenap Civitas Akademika Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, ketika IAIN memberikan gelar Doctor H. C. kepada beliau. Ditekankan oleh
Bung Karno, “ bukan saja manusia yang harus mengabdi kepada Tuhan, tapi juga
negara harus bertuhan”. Pendapat ini merupakan landasan yang seutuhnya agar
negara di tangan pemerintah senantiasa mengabdi kepada Tuhan melalui
pelaksanaan kerjanya mewujudkna keadilan sosial.
Adalah
amat berkesan pernyataan Bung Karno tatkala menerima gelar Doctor H. C. dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang berkata “
... bukan dosa untuk mengatakan kebenaran”. Sebagai insan yang mengabdikan diri
kepada Tuhan, Tanah Air, Bangsa dan Manusia, Bung Karno sudah sampai kepada tingkat
haqul yaqin terhadap keesaan Tuhan yang oleh beliau dikatakan .” tauhid itu
adalah hati dan bukan ilmu”. Oleh karena itu beliau mengecam orang-orang yang
minta diampuni dosanya dengan cara datang ke keramat Luar Batang, yang oleh Bung
Karno ditegaskan, perbuatan demikian adalah syirik.
Sebagai
turunan Sunan Kalijaga, Bung Karno menasihatkan kerabat Sunan itu, agar jangan
menganggap diri mereka Pinunjul,
yaitu merasa diri lebih dari orang lain.
Dalam
pidato itu, Bung Karno mengungkapkan keanggotaannya pada Muhammadiyah dari
tahun 1932, yaitu ketika beliau dalam masa pembuangan di Bengkulu. Utang beliau
sebesar 30 Gulden kepada Oei Tjeng Hien, selaku konsul Muhammadiyah Bengkulu,
juga disinggung dalam pidato tersebut.
Mengingat
uraian ilmiah tersebut masih relevan untuk dipelajari dewasa ini, maka Yayasan
Pendidikan Soekarno bekerja sama dengan Inti Idayu Press untuk pertama ini
menerbitkan 7 buah kumpulan pidato H. C. yang
berasal dari dalam negeri, dengan harapan uraian ilmiah lainnya dalam pemberian
gelar Doctor H. C. di luar negeri
akan dapat diterbitkan di hari kemudian. Semoga para pembaca, terutama
mahasiswa dan cendikiawan Indonesia dapat mengambil bandingan dan sari pati
dari pikiran-pikiran yang dikemuakan oleh Bung Karnno tersebut.
KATA
PENGANTAR
YAYASAN
PENDIDIKAN SOEKARNO,
RACHMAWATI
SOEKARNO
KETUM